Yang perlu digaris bawahi adalah, 68% pekerja memiliki kemungkinan meninggal karena penyakit jantung, menderita serangan jantung yang tidak fatal atau terkena angina (sakit dada) jika mereka mengalami stres kerja dalam jangka panjang.
Bagian dari masalahnya adalah pekerja yang mengalami stres tidak memiliki pola makan yang sehat dan tidak aktif secara fisik. Sehingga gaya hidup merupakan daerah yang matang untuk kemajuan penyakit ini.
University College London's Tarani Chandola, DPhil dan koleganya melaporkan penemuan mereka secara online di European Heart Journal, seperti yang dimuat dalam situs webMD.
Pekerjaan yang membuat stres memiliki banyak tekanan dan sedikit melakukan kontrol diri. Beberapa juga termasuk stres sosial dengan atasan yang memiliki hubungan kurang baik dan teman sejawat yang tidak bisa diajak bekerja sama. Pekerja yang seringkali mengalami kematian karena penyakit jantung, serangan jantung nonfatal, dan angina, menurut penelitian adalah para pekerja muda yang berusia di akhir 30 atau 40 tahun.
Para pekerja muda yang dilaporkan mengalami stres memiliki resiko dua kali (68%) lebih tinggi terkena penyakit jantung daripada mereka yang tidak mengalami stres kerja.
Hal yang sama tidak terjadi terhadap pekerja yang lebih tua, mungkin karena mereka pensiun ketika penelitian dan tidak lagi mengalami stres kerja.
Stres diketahui mempengaruhi tubuh secara fisik, mental, dan emosional. Sindrom metabolisme, kelompok dari masalah kesehatan yang membuat penyakit jantung dan diabetes lebih parah, juga berhubungan dengan stres kerja. Hal ini dilaporkan juga oleh tim Chandola pada tahun 2006.
Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk membantu menangani stres kerja, yaitu, berolahraga, merubah pola makan, meditasi, mempelajari tehnik manajemen stres atau membuat pekerjaan Anda lebih baik lagi agar tidak kena tegur atasan dan mampu menjalin komunikasi yang baik dengan rekan sekantor.
Ayah yang Stres Pengaruhi Janin
SELAMA ini, sebagian penelitian biasanya berfokus bagaimana kondisi ibu memengaruhi janin. Namun, sebuah studi baru telah meneliti efek dari pihak ayah dan menemukan bahwa ayah terkena stres kronis bisa menurunkan perilaku stres itu kepada keturunannya.
Setelah menelusuri transmisi paternal dari stres, penelitian ini mengungkapkan bahwa penurunan perilaku itu mungkin terjadi, tapi melalui proses yang sangat rumit. Risiko depresi yang berkembang pada anak sebagian besarnya memang dipengaruhi oleh lingkungan dan genetika.
Interaksi dari kedua faktor ini cukup rumit, namun pada kenyataannya, ada faktor ketiga yakni epigenetika. Para peneliti di Mount Sinai School of Medicine di New York, yang menggunakan tikus sebagai hewan percobaan menemukan bahwa perubahan perilaku hanya terjadi pada keturunan yang dihasilkan melalui reproduksi alami dan tidak pada yang dihasilkan melalui fertilisasi in vitro atau bayi tabung.
Kepala penelitian Dr Eric Nestler menyatakan, "Temuan pada tikus ini meningkatkan potensi bahwa risiko individu untuk mengalami depresi atau stres dapat ditentukan oleh faktor genetik, termasuk ayahnya." Studi ini diterbitkan di Biological Psychiatry Elsevier edisi September 2011. (Pri/OL-060
Setelah menelusuri transmisi paternal dari stres, penelitian ini mengungkapkan bahwa penurunan perilaku itu mungkin terjadi, tapi melalui proses yang sangat rumit. Risiko depresi yang berkembang pada anak sebagian besarnya memang dipengaruhi oleh lingkungan dan genetika.
Interaksi dari kedua faktor ini cukup rumit, namun pada kenyataannya, ada faktor ketiga yakni epigenetika. Para peneliti di Mount Sinai School of Medicine di New York, yang menggunakan tikus sebagai hewan percobaan menemukan bahwa perubahan perilaku hanya terjadi pada keturunan yang dihasilkan melalui reproduksi alami dan tidak pada yang dihasilkan melalui fertilisasi in vitro atau bayi tabung.
Kepala penelitian Dr Eric Nestler menyatakan, "Temuan pada tikus ini meningkatkan potensi bahwa risiko individu untuk mengalami depresi atau stres dapat ditentukan oleh faktor genetik, termasuk ayahnya." Studi ini diterbitkan di Biological Psychiatry Elsevier edisi September 2011. (Pri/OL-060
Stres Naikkan Bobot Tubuh
Akibatnya, kata Mark, Anda akan kesulitan merasa kenyang. Solusinya adalah dengan menghindari stres.
Caranya? Lakukan latihan pernapasan. Hembuskan napas dan hitunglah hingga lima. Bebaskan segala beban dalam diri Anda. Biarkan bahu Anda turun seiring dengan hembusan napas. Lalu, tarik napas dalam-dalam dan hitung hingga lima. Tarik napas dan alirkan udara dari paru-paru menuju perut. Tahan hingga hitungan keempat. Hembuskan lagi dan ulangi dari awal.
Lakukan selama 5 menit dan beberapa kali dalam sehari. Atau, praktikkan itu ketika Anda mulai tergoda dengan makanan yang ada di hadapan Anda.