Boleh Tua Tapi Jangan Pikun
Ilustrasi (Foto: ehow)
Jakarta, Menjadi tua adalah pasti. Tapi lebih enak kalau tua tanpa menjadi pikun. Demensia atau pikun adalah hal yang paling ditakuti orang ketika menjadi tua. Kenali gejalanya agar bisa menjalani hari tua tanpa pikun.
Bapak Cokro (72 tahun) masuk ke ruang praktek dokter dengan anaknya. Sekilas ia tampak normal, berjalan tanpa bantuan, dan dapat mandiri. Dokter bertanya, 'Ada keluhan apa bapak?'. Anaknya menjawab, 'Sekarang ini bapak mudah lupa'. Dokter melakukan pemeriksaan kepada bapak Cokro, dan melanjutkan dengan tes neuropsikologi singkat.
Dokter bertanya 'Bapak memiliki putra berapa?' Pak Cokro dengan cepat menjawab, 'Putra saya lima dok'. 'Siapa nama putra bapak yang nomor tiga?', tanya dokter. Setelah berpikir lama, dengan tersenyum Pak Cokro menjawab, 'Namanya Wawan, dok'. Dokter melirik putra yang mengantar Pak Cokro. Putranya menjawab dengan gelengan kepala, dan memberi isyarat bila jawaban Pak Cokro salah. Dokter kembali bertanya, 'Pak, berapa 100 dikurang 7?' Pak Cokro berpikir sebentar dan menjawab, 'Ya 97 dok'.
Cerita diatas dan hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa Pak Cokro mengalami demensia. Demensia adalah terminologi medis untuk pikun. Demensia menunjukkan adanya kemunduran yang progresif dari proses memori dan intelektual otak.
Berbagai fungsi otak seperti berbahasa, orientasi, kalkulasi atau berhitung, berpikir abstrak, dan pengambilan keputusan dapat terganggu. Pada tahap yang lebih lanjut, penderita pikun juga tidak dapat merawat dirinya sendiri. Gejala pikun tidaklah serta merta muncul pada sebagian besar kasus. Pada umumnya gejala telah muncul beberapa tahun sebelumnya, dan diawali dengan mudah lupa.
Mengenal Demensia
Demensia mulai dikenal secara luas, ketika pada tahun 1995 mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen mengumumkan secara terbuka bahwa ia terkena demensia Alzheimer. Ronald Reagen menggambarkan kondisinya seperti perjalanan menuju ke arah senja kehidupan. Pada tanggal 6 Februari 2000 Reagen merayakan ulang tahunnya yang ke 89, dan pada saat itu Reagen sudah tidak mengenal siapapun kecuali istrinya, Nancy Reagen.
Demensia merupakan kemunduran proses intelektual yang terjadi secara bertahap, sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari penyandangnya. Kejadian demensia akan semakin meningkat dengan pertambahan usia. Kejadian demensia adalah 1,4% pada usia 65-69 tahun, 2,8% pada usia 70-74 tahun, 5,6% pada usia 75-79 tahun, dan 23,6% pada usia 85 tahun. Sebagian kasus demensia adalah demensia Alzheimer. Semakin tua seseorang akan semakin rentan untuk terkena demensia.
Penyebab demensia terbanyak adalah demensia Alzheimer. Penyebab lain demensia adalah demensia vaskuler (akibat gangguan pembuluh darah otak), demensia akibat penyakit parkinson, dan demensia sekunder akibat obat atau penyakit infeksi.
Penyakit Alzheimer ditemukan pertama kali tahun 1906 oleh dokter Alois Alzheimer. Usia tua merupakan faktor penyebab utama muncunya demensia. Faktor risiko lain adalah riwayat keluarga, yang ditunjukkan dengan pewarisan gen ApoE. Faktor risiko lain munculnya demensia adalah trauma kepala, stroke, diabetes, hipertensi, dan pemakaian obat-obatan tertentu.
Gejala Demensia
Gejala awal demensia ditandai oleh mudah lupa. Mudah lupa ini ada yang bersifat beniga atau mudah lupa wajar, dan bersifat maligna atau mudah lupa yang sudah mengganggu aktivitas sehari-hari.
Gejala yang sering dikeluhkan adalah lupa nama, lupa janji, lupa menaruh benda, lupa nama peristiwa, dan sebagainya. Pada kondisi ini aktivitas sehari-hari masih dapat dilakukan dengan baik, Gejala yang khas dan paling sering dilaporkan dari berbagai penelitian adalah lupa menaruh barang, sehingga muncul lelucon bahwa pada tahap ini seseorang akan mengikuti cabang olahraga baru yaitu 'mencari-cari kacamata'.
Gejala akan berlanjut menjadi mudah lupa yang maligna, suatu kondisi yang disebut dengan Mild Cognitive Impairment. Pada kondisi ini mudah lupa semakin menjadi-jadi. Keluhan tidak hanya disampaikan oleh pasien, namun juga oleh banyak orang di sekitarnya. Aktivitas rutin harian masih normal, tetapi ada gangguan sedikit dalam aktivitas yang kompleks misalnya berbelanja. Kondisi ini di banyak kultur masih sering dianggap wajar, 'bila sudah tua, ya wajar mudah lupa”'. Anggapan tersebut kurang tepat. Bila ditemukan pada tahap ang dini, demensia dapat diperlambat.
Bila penyakit berlanjut, maka akan muncul gejala demensia. Gejala yang umum dijumpai adalah gangguan memori dan ketidakmampuan mempertahankan informasi yang baru. Memori yang terganggu pada umumnya adalah memori jangka pendek. Pada tahap ini pasien seringkali menunjukkan gangguan perilaku, mudah curiga, marah-marah, sering berbohong, dan perilaku lain yang tidak wajar. Aktivitas harian mulai terganggu. Pada tahap yang lebih lanjut sering dijumpai gangguan tidur malam hari, kesulitan menemukan kata-kata, dan kehilangan kontrol atas buang air kecil dan buang air besar. Pada tahap akhir penyakit, pasien lebih banyak di tempat tidur dan sepenuhnya tergantung pada bantuan orang lain.
Penanganan Demensia
Prinsip utama penanganan adalah menemukan kasus sedini mungkin. Semakin awal kasus demensia ditemukan, semakin baik harapannya. Kasus yang ditemukan pada stadium Alzheimer memiliki prognosis yang lebih buruk daripada bila ditemukan pada stadium mudah lupa.
Banyak tes neuropsikologi sederhana yang dapat dikerjakan pada pasien. Tes ini akan memakan waktu yang bervariasi, mulai dari 5 menit sampai 1 jam. Lamanya waktu akan sangat terganung pada kompleksitas tes. Beberapa tes yang sangat terkenal adalah MMSE (Mini Mental State Examination), Short Blessed Test, dan Clock Drawing Test. Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan penyebab sekunder. Tes laboratorium untuk melacak infeksi seringkali dikerjakan, demikian pula pemeriksaan radiologi (CT scan kepala atau MRI).
Terapi meliputi terapi farmakologi (dengan obat) dan non farmakologi (tanpa obat). Terapi farmakologi terutama ditujukan untuk memperbaiki gejala dan menghambat perkembangan penyakit. Terapi yang seringkali diberikan adalah untuk memperbaiki gejala mudah lupa, sulit berbahasa, depresi, agitasi, dan gangguan tidur. Terapi non obat meliputi edukasi pada pasien dan keluarga, membuat catatan dan titian ingatan, terapi rekreasional, dan brain exercise.
Titian ingatan seringkali membantu pasien untuk mengingat. Terapi rekreasional yang paling dianjurkan adalah dengan berkumpul bersama kelompokya. Hal ini dapat dicapai dengan tetap mengikuti kegiatan sosial, bertemu teman lama, menghadiri reuni. Saling berbagi cerita akan membantu proses ingatan.
Sedangkan senam otak (brain gym) adalah metode gerakan-gerakan tubuh yang mengaktivasi fungsi otak. Berbagai penelitian membuktikan peningkatan fungsi dan aktivitas otak akibat gerakan-gerakan senam tersebut. Brian gym ini telah banyak dipelajari dan sudah banyak diterapkan (bahkan dalam bentuk perkumpulan).
Prinsip utama penanganan demensia adalah 'Use it or lose it', sehingga asahlah otak ini terus menerus. Boleh tua, tapi jangan pikun.
dr Rizaldy Pinzon, Mkes, SpS
Dokter, bekerja dan tinggal di Yogyakarta,
Tim Stroke RS Bethesda Yogyakarta
medidoc2002@yahoo.com
Ilustrasi (Foto: ehow)
Jika Tak Ingin Pikun, Lakukan Aerobik
Putro Agus Harnowo - detikHealth(Foto: thinkstock)
Semua latihan yang memompa jantung dapat mengurangi dan memperlambat perkembangan risiko demensia atau pikun. Demikian kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Mayo Clinic dan diterbitkan dalamMayo Clinic Proceeding seperti dikutip Minggu (18/9/2011).
Aerobik artinya olahraga yang menghasilkan oksigen banyak. Gerakannya dilakukan secara terus menerus yang membuat kaki dan tangan bergerak. Contoh olahraga aerobik adalah jogging, lari, senam, bersepada, renang, jalan cepat. Berkebalikan dengan aerobik adalah anaerobik yakni gerakan yang tidak dilakukan terus menerus sehingga produksi oksigen tidak terus menerus seperti angkat besi, tenis lapangan yang bergerak pada waktu-waktu tertentu.
Latihan fisik seperti aerobik dapat meningkatkan denyut jantung dan meningkatkan kebutuhan tubuh akan oksigen. Latihan fisik tersebut meliputi berjalan, olahraga dan kegiatan rumah seperti menyekop salju atau menyapu daun.
"Kami menyimpulkan bahwa ada alasan yang sangat menarik mengenai latihan sebagai strategi untuk memodifikasi penyakit dan mencegah demensia serta gangguan kognitif ringan," kata J. Eric Ahlskog, MD, PhD, ahli saraf di Mayo Clinic.
Penelitian dengan menggunakan pencitraan otak telah menunjukkan bukti objektif mengenai efek positif latihan bagi keberlangsungan otak manusia secara konsisten. Penelitian pada hewan juga telah menunjukkan bahwa latihan fisik menghasilkan faktor-faktor yang meningkatkan fungsi otak dan memperkuat koneksi otak (neuroplastisitas).
Para peneliti kemudian merekomendasikan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lebih jauh hubungan antara olahraga dan fungsi kognitif. Mereka juga mendorong pasien untuk melakukan latihan fisik, terutama bagi mereka yang khawatir tentang masalah kognitifnya.
"Dalam perawatan primer ataupun klinik neurologi, kami harus terus mendorong pasien melakukan latihan fisik. Tidak hanya untuk kesehatan secara umum, tetapi juga kesehatan kognitif," kata Dr. Ahlskog.
"Kami menyisir semua literatur ilmiah yang bisa kami temukan mengenai kaitan antara latihan fisik dan kognisi, termasuk penelitian pada hewan dan penelitian pengamatan. Kami membuka lebih dari 1.600 makalah dengan 130 judul yang langsung menyinggung masalah ini. Kami berusaha mengumpulkan sudut pandang yang seimbang," kata Dr. Ahlskog yang menjelaskan metode penelitiannya.